PEMIKIRAN KALAM
NURCHOLISH MADJID
Akar Pemikiran : Islam Peradaban
Dilihat dari tulisan-tulisannya, akar pembaharuan pemikiran Islam Nurcholish merupakan sebuah dialektika di seputar tema: Keislaman, Ke-Indonesiaan, dan Kemoderanan4. Dari pengamatan Nurcholish terhadap setting historis pemahaman umat Islam terhadap agamanya dan hubungan Islam dgn negara, ia mencanangkan program pembaruannya yg terkenal dgn jargon “modernisasi” dan “sekularisasi”.
Istilah “modernisasi” yg dimaksudkan Nurcholish adlh “rasionalisasi”, bukan westernisasi. Karena itu, modernisasi berarti proses perombakan pola pikir dan tata kerja baru yg tak rasional, dan menggantinya dgn pola pikir dan tata kerja yg rasional.6 Dalam perspektif ini, pengertian Nurcholish tentang modernisasi sebagai rasionalisasi, tak berbeda dgn Islam rasionalnya Harun Nasution. Karena itu, etos Islam Rasional jg melekat kuat pd Islam Peradaban. Hanya saja, dgn “rasional” di sini, tentu tak harus dikaitkan dgn Mu’tazilah.
Pentingnya modernisasi, bagi Nurcholish, adlh agar pemikiran umat Islam sejalan dgn penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan. Jadi sesuatu yg disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuaian dgn hukum-hukum alam. Menurutnya, modernitas Barat itu sebenarnya diletakkan oleh peradaban Islam -yang telah ditransfer ke daratan Eropa- baik dlm pengembangan ilmu, politik maupun sosialnya.
Sementara dgn istilah “sekularisasi”, ditujukan kepada model keberagamaan yg primitif dan terkesan sangat mengagungkan mitos-mitos yg sebenarnya itu bukan ajaran Islam. Karena itu, sekularisasi berarti “desakralisasi”, yakni proses pembebasan dari obyek-obyek yg sebenarnya tak sakral, tetapi dianggap sakral. Dalam kata lain, “sekularisasi” Nurcholish itu bertujuan,
(1) ia ingin”mempribumikan” etos dan moral dlm Islam,
(2) ia ingin “menduniawikan” nilai-nilai yg semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat dari kecenderungan “mengukhrawikan”nya.
Dalam konteks politik, program sekularisasi Nurcholish ingin mendekatkan umat Islam pd Islam, bukan pd institusi politiknya. Hal ni tercermin dlm slogan pembaruan politiknya: “Islam …Yes, Partai Islam … No”. Dengan jargon ini, ia menyerukan “de-Islamisasi” partai politik, yg menurutnya, Islam tak mungkin lagi akan mendapatkan kekuatan politik pd masa Orde Baru. Mulai saat itulah secara serius dipikirkan transformasi pemikiran Islam dari tahapan Islam Politik menuju tahapan Islam Kultural, yakni gerakan pemikiran yg bersifat kebudayaan.
Perkembangan pemikiran Nurcholish dewasa ini, kelihatan semakin komprehensif dan mendalam, bahkan dlm menjabarkan tema-tema pemikirannya, nampak lebih historis dan interpretatif. Ini terlihat dari komitmen untk mempertemukan antara nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, dan upayanya untk mencari titik temu agama-agama dlm konteks hidup ber-Pancasila.
Untuk tujuan di atas, Nurcholish memulainya dgn mengelaborasi makna Islam. Dalam pandangannya, Islam itu bersifat universalis dan kosmopolitanis. Sumber universalitas Islam dpt dilihat dari perkataan Islam itu sendiri, yg berarti sikap pasrah kepada Tuhan. Dengan pengertian ini, berarti semua agama yg benar bersifat al-islam (dengan i kecil), yakni mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Sehingga, menurut Nurcholish, meskipun agama yg dibawa Musa itu dinamai Yahudi dan agama Isa disebut Nasrani, pd prinsipnya agama-agama itu bersifat al-Islam.
Namun, bagaimana dgn kenyataan bahwa agama yg dibawa Muhammad SAW. itu bernama Islam (dengan I huruf besar) ?. Terhadap pertanyaan ini, Nurcholish mengilustrasikan, berarti umat Islam harus menjadi penengah (al-wasîth) dan saksi (syuhadâ’) di antara sesama manusia. Umat Islam sebagai moderator / mediator merupakan keadaan yg pernah dibuktikan dlm sejarah Islam, yg sangat menghargai minoritas non-muslim. Sikap inklusif dan toleran ni termuat dlm al-Qur’an yg mengajarkan paham kemajemukan beragama (religious plurality).
Dasar inilah yg dijadikannya pijakan pemikirannya tentang titik temu agama-agama. Bagi Nurcholish, Pancasila dipandang sebagai kesamaan pandang bangsa Indonesia dlm kehidupan berbangsa yg plural ini, yg ia istilahkan sendiri dgn “kalimatun sawâ’” / “teologi universal”. Karenanya, menurut Nurcholish, dlm kehidupan pluralitas beragama yg diikat dlm satu bangsa ini, perlu dikembangkan sikap “al-hanifiyat al-samhat” اÙØÙÙÙÙØ© اÙس٠ØØ©) ) yakni sikap, toleran, terbuka, dan inklusif.
Reinterpretasi Kalam Dari keseluruhan pembaruan pemikiran Islam Nurcholish di atas, apabila ditelusuri dari sumbernya yg dalam, ia selalu berangkat dari konsep tawhîd, yg menurutnya mempunyai efek pembebasan. Tawhîd dlm pemikiran Nurcholish, merupakan sentral dan dari konsep itu ia transformasikan dlm bentuk pemikiran yg lebih praktis dan aplikatif dlm kehidupan sosial umat Islam.
Kalimat tawhîd (ÙااÙ٠اÙااÙÙÙ) mengandung dua ungkapan : peniadaaan (nafyu; negation) dan pengukuhan (itsbat; affirmation), yakni “tiada tuhan selain tuhan”. Perkataan “tidak ada tuhan” (dengan “t” kecil) adlh peniadaan , dan perkataan “melainkan Tuhan” (dengan “T” besar) adlh pengukuhan. Pada yg pertama, berarti pembebasan manusia dari objek-objek palsu dan mitologis, yaitu sikap menuhankan kepada selain Allah, maka setelah kebebasan itu diperoleh, harus diisi dgn kepercayaan yg benar, yakni ketundukan manusia kepada Tuhan / Allah.
Dalam posisi pemikiran seperti ini, pembaruan Nurcholish dpt dipandang sebagai “purifikasi” (pemurnian kepercayaan kepada Tuhan). Purifikasi itu akan tampak dari dua hal: (1) melepaskan diri dari kepercayaan palsu; (2) pemusatan kepercayaan hanya kepada Yang Benar (Allah) yg memiliki dimensi absolutisme.
Efek pembebasan tawhîd di atas, dari pembebasan yg bersifat individual, kemudian akan mengalir kepada pembebasan sosial yg bersifat egalitarian. Dalam perpektif inilah, ia membangun pandangannya tentang demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia. Leih lanjut, untk menerapkan ajaran tawhîd, Nurcholish melakukan sosialisasi gagasannya dgn mengutip bukan saja tokoh Islam seperti Muhammad Iqbal, tetapi jg mengambil pikiran Karl Marx. Cara kerja semacam itu , bertujuan agar tiap orang tahu bahwa tak ada sesuatupun yg pantas disucikan selain Allah.
Akibat dari tawhîd ini, papar Nurcholish, adlh “Bolshevisme plus Allah”, artinya bahwa pandangan Islam terhadap dunia ni dan masalah-masalahnya adlh sama dgn kaum Komunis (realistis, dilihat menurut apa adanya, tak mengadakan penilaian lebih dari apa yg sewajarnya dipunyai oleh obyek itu), hanya saja Islam mengatakan adanya pandangan dunia (wtltanschaung) dlm hubungan antara alam dan Tuhan itu sedemikian rupa, sehingga wajar bagaikan badan dgn kepala di atas dan kaki di bawah (istilah Marx), artinya kepercayaan kepada Tuhan mendasari pandangan pd alam, dan tak sebaliknya, seperti pd ajaran materialisme dialektika.
Pandangannya tentang tawhîd jg menjadi landasannya tentang kemungkinan pengembangan etos kerja dari sudut Islam. Etos kerja dan disiplin tinggi harus berdasarkan pd “dasar nilai kerja”, yg oleh Nurcholish disebut dgn “niat” (komitmen), yg berkaitan erat dgn sistem nilai (value system).
Bagi seorang muslim, niat / komitmen kerja itu harus selalu ditransendenkan pd Allah, sehingga mengerjakan sesuatu demi mencari ridla Allah, dgn sendirinya berimplikasi bahwa kita tak boleh melakukannya dgn sembrono, seenaknya, dan tak terprogram. Kerja harus diniati dgn ikhlas dan ikhsan (mengerjakan secara optimal).19 Inilah, kata Nurcholish, etos kerja yg perlu tumbuh bagi kaum Muslim, agar Indonesia menjadi bangsa yg maju dan memiliki kualitas SDM yg tinggi di masa depan. Baginya, apabila umat Islam Indonesia maju, berarti Indonesia jg akan maju, begitu pula sebaliknya. Maka, ia sangat yakin bahwa maju mundurnya Indonesia sangat tergantung pd umat Islam itu sendiri.
Konsep Eskatologis
Dalam bukunya Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat, Nurcholish kembali mengungkapkan konsep eskatologisnya dgn pendekatan rasional, historis dan sosiologis. Hal ni berbeda sekali dgn pendekatan yg lazim digunakan masyarakat Islam Indonesia yg lebih menitik beratkan pd pendekatan doktrinal, terutama dlm hal konsep dunia dan akhirat. Ketika menjelaskan konsep “urusan dunia” (umûr al-dunyâ), Nurcholish membagi dua kategori: peranan taqdir dan peranan sunnatullah.
Ia menjelaskan, bahwa sesungguhnya yg diajarkan oleh Islam bukanlah kehidupan duniawi dan ukhrawi yg dikotomis, dlm arti terpisah dan bertentangan. Islam hanya mengajarkan bahwa antara keduanya itu berbeda tapi merupakan kesambungan / kontinuitas, karena keduanya dipertautkan dan dipersatukan dlm satu hukum ketentuan Tuhan yg mengatur lingkungan hidup duniawi ni serta pola kehidupan manusia itu sendiri secara tetap dan tak berubah-ubah, yaitu hukum ketentuan Tuhan / taqdîr.
Menurutnya, istilah taqdîr dlm al-Qur’an ialah hukum ketentuan yg telah ditetapkan Tuhan untk mengatur pola perjalanan dan “tingkah laku” alam ciptaan-Nya, khususnya alam material. Misalnya taqdîr pola perjalanan / peredaran matahari21, taqdîr untk pola perjalanan rembulan dan matahari, yg memungkinkan manusia menjadikan keduanya itu sebagai dasar perhitungan waktu yg pasti. Dari pengertian taqdîr ini, menurutnya tak lain padanan / ekuivalensi istilah sehari-hari “hukum alam”.
Maka sudah tentu untk mendapatkan sukses dlm kehidupan duniawi ni manusia dituntut untk memahami hukum ketentuan Allah bagi lingkungan sekelilingnya, yaitu alam. Implikasi pemahaman semacam itu -khususnya pemahaman lingkungan material hidup di dunia ini- menghasilkan ilmu pengetahuan yg kemudian dpt diterapkan secara konkrit dlm bentuk teknologi, baik yg kuno maupun modern.24
Akan tetapi, menurut Nurcholish, hidup di dunia tak cukup hanya bermodal ilmu pengetahuan semata, sebab ilmu pengetahuan bukanlah jaminan untk kebahagiaan sejati dan langgeng. Manusia -dengan merujuk peristiwa pengusiran Adam dari surga- memerlukan sesuatu yg lebih daripada ilmu pengetahuan, yaitu ajaran-ajaran moral (Kalimât) dari Tuhan yg bila diikuti akan menghindarkan manusia dari kemungkinan terjatuh pd kesesatan hidup. Dalam bahasa kontemporer, secara empirik terbukti bahwa keselamatan dan kebahagiaan hidup tak cukup hanya dgn mengandalkan ilmu pengetahuan saja. Itulah hidayah / petunjuk hidup dari Allah yg akan membebaskan manusia dari rasa takut / khawatir.
Dalam bukunya yg lain, Nurcholish menjelaskan, bahwa taqdir tidaklah dlm arti yg sebanding dgn fatalisme, yaitu paham nerimo dan tak lagi berusaha karena segala sesuatu dipercaya sebagai nasib. Taqdir ialah suatu ajaran agar kita mengembalikan segala sesuatu kepada Allah, supaya kita lebih tenang kembali.
Tentu saja semua ni berlaku kalau sesuatu itu telah terjadi. Jadi kalau segala sesuatu telah terjadi, maka ni adlh taqdir Allah, tapi kalau berlum terjadi, maka ibarat buku yg masih satu persoalan terbuka, maka sikap kita kepada hal yg belum terjadi ialah ikhtiar.
Selanjutnya, berkenaan dgn sunnatullah, Nurcholish menjelaskan, bahwa sunnatullah meliputi ajaran-ajaran moral / agama yg disampaikan Allah kepada para Nabi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW. Karena itu manusia harus memahami dan bertindak sesuai dgn ketentuan-ketentuan itu, demi keselamatan dan kebahagiaannya yg lebih utuh.
Tetapi, sesungguhnya, yg diterangkan secara eksplisit dlm agama hanyalah yg bersifat garis besar dan amat prinsipil saja. Atau, jika bersifat garis rinci (garis kecil), maka yg diterangkan hanyalah hal-hal yg langsung bersangkutan dgn dengan natur manusia dan fitrahnya, yg manusia cenderung untk melupakan / meremehkannya (misal: hukum tentang perzinaan, pencurian, pembagian harta pusaka, perkawinan, dst.). Sedangkan sunnatullah dlm wujudnya yg menyeluruh, yg menguasai semua aspek hidup sosial manusia sepanjang sejarah, tidaklah diterangkan oleh Allah, sebab otak manusia tak akan muat untk sekaligus menampung pemahamannya.
Oleh karena sunnatullah itu telah terwujud nyata dlm perjalanan sejarah manusia, maka terdapat kemungkinan bagi manusia untk melengkapi pengetahuannya tentang hukum ketentuan Tuhan yg didapatnya secara deduktif dari ajaran agama itu dgn memperhatikan dan memahami serta membuat kesimpulan secara induktif gejala sejarah umat manusia. Ini berarti memacu manusia untk menggunakan segenap potensi akal budinya dlm memahami hukum-hukum Tuhan yg ada di jagad raya (kawniyah).
Dalam hal kajian tentang Hari Kiamat, kembali Nurcholish memberikan intepretasi yg cukup arif, bukan kepada peristiwa kiamat itu sendiri / deskripsi kehidupan di akhirat, melainkan lebih dititikberatkan kepada hikmah terhadap kepercayaan hari kiamat. Hari Kiamat (qiyâmat, yg berarti kebangkitan), merupakan peristiwa hancurnya alam semesta, kemudian manusia seluruhnya akan dibangkitkan dari alam kubur.
Keimanan kepada adanya Kiamat dan Hari Kemudian (al-yawm al-âkhir), menyangkut masalah kebenaran intrinsik, yaitu kebenaran bahwa Kiamat memang pasti akan tiba dan Hari Akhirat memang akan dialami umat manusia. Tapi di samping itu, sebagai hikmahnya yg utama, “ajaran tentang Kiamat dan Hari Kemudian itu jg mengandung pendidikan dan peringatan bahwa segala sesuatu yg kita kerjakan dlm hidup ini, baik ataupun buruk, akan kita pertanggung jawabkan kepada Pencipta kita, dan akan kita rasakan akibatnya, baik berupa kebahagiaan maupun kesengsaraan”.
Selanjutnya, tentang pertanggungjawaban di Hari Kiamat itu salah satu hal yg sangat perlu diinsafi tiap orang ialah dimensinya yg mutlak dan individual. Kehidupan di akhirat tak lagi mengikuti hukum-hukum alam dan sejarah kehidupan duniawi. Semua itu dimaksudkan agar manusia tak menjalani hidup ni secara sembrono sehingga tak lagi peduli kepada ukuran dan pertimbangan moral. Setiap orang diharapkan, bahkan diharuskan, mengembangkan dirinya sebagai perorangan yg penuh tanggung jawab, yg berani dgn jujur mempertanggungjawabkan segala perbuatannya, yg dlm pertanggungjawaban itu tak mengandalkan dan menyandarkan diri kepada orang lain. Dengan begitu ia akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia dgn karakter yg kuat, yg menjadi unsur bangunan masyarakat yg kuat
Berdasarkan gambaran di atas, dpt dipahami bahwa Nurcholish hendak membangun masyarakat dgn sebuah bangunan moralitas / akhlak mulia (al-akhlâq al-karîmat). Dikatakan, “keimanan kepada adanya Hari Kiamat dan Hari Akhirat dgn pengalaman hidup abadi dlm kebahagiaan / kesengsaraan merupakan salah satu pondasi kehidupan yg benar, yaitu kehidupan penuh akhlaq, budi pekerti luhur dan moral. Jika Nabi s.a.w. dlaam sebuah hadits menegaskan bahwa beliau ‘diutus hanyalah untk menyempurnakan berbagai keluhuran budi’, maka salah satu tafsiran sabda beliau itu ialah bahwa tujuan utama agama bagi kehidupan manusia di bumi ni ialah terciptanya kehidupan bermoral”.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dpt diringkaskan gagasan utama Nurcholish Madjid di bidang kalam ni adlh pemisahan yg tegas antara dunia dan akhirat, yakni :
Pertama, urusan bumi diserahkan kepada umat manusia. Manusia diberi wewenang penuh untk memahami dunia ini.
Kedua, akal pikiran adlh alat manusia untk memahami dan mencari pemecahan masalah duniawi.
Ketiga, oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi. Keempat, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi.
Kelima, membedakan antara Hari Dunia dan Hari Agama. Pada Hari Dunia yg berlaku adlh hukum kemasyarakatan manusia dan pd Hari Agama yg berlaku adlh hukum ukhrawi.
Keenam, Bismillah artinya Atas Nama Tuhan dan bukan Dengan Nama Allah.
Ketujuh, Al-Rahmân arti kasih Tuhan di dunia dan al-Rahîm kasih Tuhan di akhirat.
Kedelapan, dimensi kehidupan duniawi adlh ‘ilmi dan kehidupan spiritual adlh ukhrawi.
Kesembilan, Islam adlh dîn, dîn adlh agama dan agama tak bersifat ideologis, politis, ekonomis, sosiologis, dsb. Kesepuluh, apa yg disebut negara Islam tak ada31.
dikutip dari artikel M.Afif Anshori di sumber
NURCHOLISH MADJID
Akar Pemikiran : Islam Peradaban
Dilihat dari tulisan-tulisannya, akar pembaharuan pemikiran Islam Nurcholish merupakan sebuah dialektika di seputar tema: Keislaman, Ke-Indonesiaan, dan Kemoderanan4. Dari pengamatan Nurcholish terhadap setting historis pemahaman umat Islam terhadap agamanya dan hubungan Islam dgn negara, ia mencanangkan program pembaruannya yg terkenal dgn jargon “modernisasi” dan “sekularisasi”.
Istilah “modernisasi” yg dimaksudkan Nurcholish adlh “rasionalisasi”, bukan westernisasi. Karena itu, modernisasi berarti proses perombakan pola pikir dan tata kerja baru yg tak rasional, dan menggantinya dgn pola pikir dan tata kerja yg rasional.6 Dalam perspektif ini, pengertian Nurcholish tentang modernisasi sebagai rasionalisasi, tak berbeda dgn Islam rasionalnya Harun Nasution. Karena itu, etos Islam Rasional jg melekat kuat pd Islam Peradaban. Hanya saja, dgn “rasional” di sini, tentu tak harus dikaitkan dgn Mu’tazilah.
Pentingnya modernisasi, bagi Nurcholish, adlh agar pemikiran umat Islam sejalan dgn penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan. Jadi sesuatu yg disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuaian dgn hukum-hukum alam. Menurutnya, modernitas Barat itu sebenarnya diletakkan oleh peradaban Islam -yang telah ditransfer ke daratan Eropa- baik dlm pengembangan ilmu, politik maupun sosialnya.
Sementara dgn istilah “sekularisasi”, ditujukan kepada model keberagamaan yg primitif dan terkesan sangat mengagungkan mitos-mitos yg sebenarnya itu bukan ajaran Islam. Karena itu, sekularisasi berarti “desakralisasi”, yakni proses pembebasan dari obyek-obyek yg sebenarnya tak sakral, tetapi dianggap sakral. Dalam kata lain, “sekularisasi” Nurcholish itu bertujuan,
(1) ia ingin”mempribumikan” etos dan moral dlm Islam,
(2) ia ingin “menduniawikan” nilai-nilai yg semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat dari kecenderungan “mengukhrawikan”nya.
Dalam konteks politik, program sekularisasi Nurcholish ingin mendekatkan umat Islam pd Islam, bukan pd institusi politiknya. Hal ni tercermin dlm slogan pembaruan politiknya: “Islam …Yes, Partai Islam … No”. Dengan jargon ini, ia menyerukan “de-Islamisasi” partai politik, yg menurutnya, Islam tak mungkin lagi akan mendapatkan kekuatan politik pd masa Orde Baru. Mulai saat itulah secara serius dipikirkan transformasi pemikiran Islam dari tahapan Islam Politik menuju tahapan Islam Kultural, yakni gerakan pemikiran yg bersifat kebudayaan.
Perkembangan pemikiran Nurcholish dewasa ini, kelihatan semakin komprehensif dan mendalam, bahkan dlm menjabarkan tema-tema pemikirannya, nampak lebih historis dan interpretatif. Ini terlihat dari komitmen untk mempertemukan antara nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, dan upayanya untk mencari titik temu agama-agama dlm konteks hidup ber-Pancasila.
Untuk tujuan di atas, Nurcholish memulainya dgn mengelaborasi makna Islam. Dalam pandangannya, Islam itu bersifat universalis dan kosmopolitanis. Sumber universalitas Islam dpt dilihat dari perkataan Islam itu sendiri, yg berarti sikap pasrah kepada Tuhan. Dengan pengertian ini, berarti semua agama yg benar bersifat al-islam (dengan i kecil), yakni mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Sehingga, menurut Nurcholish, meskipun agama yg dibawa Musa itu dinamai Yahudi dan agama Isa disebut Nasrani, pd prinsipnya agama-agama itu bersifat al-Islam.
Namun, bagaimana dgn kenyataan bahwa agama yg dibawa Muhammad SAW. itu bernama Islam (dengan I huruf besar) ?. Terhadap pertanyaan ini, Nurcholish mengilustrasikan, berarti umat Islam harus menjadi penengah (al-wasîth) dan saksi (syuhadâ’) di antara sesama manusia. Umat Islam sebagai moderator / mediator merupakan keadaan yg pernah dibuktikan dlm sejarah Islam, yg sangat menghargai minoritas non-muslim. Sikap inklusif dan toleran ni termuat dlm al-Qur’an yg mengajarkan paham kemajemukan beragama (religious plurality).
Dasar inilah yg dijadikannya pijakan pemikirannya tentang titik temu agama-agama. Bagi Nurcholish, Pancasila dipandang sebagai kesamaan pandang bangsa Indonesia dlm kehidupan berbangsa yg plural ini, yg ia istilahkan sendiri dgn “kalimatun sawâ’” / “teologi universal”. Karenanya, menurut Nurcholish, dlm kehidupan pluralitas beragama yg diikat dlm satu bangsa ini, perlu dikembangkan sikap “al-hanifiyat al-samhat” اÙØÙÙÙÙØ© اÙس٠ØØ©) ) yakni sikap, toleran, terbuka, dan inklusif.
Reinterpretasi Kalam Dari keseluruhan pembaruan pemikiran Islam Nurcholish di atas, apabila ditelusuri dari sumbernya yg dalam, ia selalu berangkat dari konsep tawhîd, yg menurutnya mempunyai efek pembebasan. Tawhîd dlm pemikiran Nurcholish, merupakan sentral dan dari konsep itu ia transformasikan dlm bentuk pemikiran yg lebih praktis dan aplikatif dlm kehidupan sosial umat Islam.
Kalimat tawhîd (ÙااÙ٠اÙااÙÙÙ) mengandung dua ungkapan : peniadaaan (nafyu; negation) dan pengukuhan (itsbat; affirmation), yakni “tiada tuhan selain tuhan”. Perkataan “tidak ada tuhan” (dengan “t” kecil) adlh peniadaan , dan perkataan “melainkan Tuhan” (dengan “T” besar) adlh pengukuhan. Pada yg pertama, berarti pembebasan manusia dari objek-objek palsu dan mitologis, yaitu sikap menuhankan kepada selain Allah, maka setelah kebebasan itu diperoleh, harus diisi dgn kepercayaan yg benar, yakni ketundukan manusia kepada Tuhan / Allah.
Dalam posisi pemikiran seperti ini, pembaruan Nurcholish dpt dipandang sebagai “purifikasi” (pemurnian kepercayaan kepada Tuhan). Purifikasi itu akan tampak dari dua hal: (1) melepaskan diri dari kepercayaan palsu; (2) pemusatan kepercayaan hanya kepada Yang Benar (Allah) yg memiliki dimensi absolutisme.
Efek pembebasan tawhîd di atas, dari pembebasan yg bersifat individual, kemudian akan mengalir kepada pembebasan sosial yg bersifat egalitarian. Dalam perpektif inilah, ia membangun pandangannya tentang demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia. Leih lanjut, untk menerapkan ajaran tawhîd, Nurcholish melakukan sosialisasi gagasannya dgn mengutip bukan saja tokoh Islam seperti Muhammad Iqbal, tetapi jg mengambil pikiran Karl Marx. Cara kerja semacam itu , bertujuan agar tiap orang tahu bahwa tak ada sesuatupun yg pantas disucikan selain Allah.
Akibat dari tawhîd ini, papar Nurcholish, adlh “Bolshevisme plus Allah”, artinya bahwa pandangan Islam terhadap dunia ni dan masalah-masalahnya adlh sama dgn kaum Komunis (realistis, dilihat menurut apa adanya, tak mengadakan penilaian lebih dari apa yg sewajarnya dipunyai oleh obyek itu), hanya saja Islam mengatakan adanya pandangan dunia (wtltanschaung) dlm hubungan antara alam dan Tuhan itu sedemikian rupa, sehingga wajar bagaikan badan dgn kepala di atas dan kaki di bawah (istilah Marx), artinya kepercayaan kepada Tuhan mendasari pandangan pd alam, dan tak sebaliknya, seperti pd ajaran materialisme dialektika.
Pandangannya tentang tawhîd jg menjadi landasannya tentang kemungkinan pengembangan etos kerja dari sudut Islam. Etos kerja dan disiplin tinggi harus berdasarkan pd “dasar nilai kerja”, yg oleh Nurcholish disebut dgn “niat” (komitmen), yg berkaitan erat dgn sistem nilai (value system).
Bagi seorang muslim, niat / komitmen kerja itu harus selalu ditransendenkan pd Allah, sehingga mengerjakan sesuatu demi mencari ridla Allah, dgn sendirinya berimplikasi bahwa kita tak boleh melakukannya dgn sembrono, seenaknya, dan tak terprogram. Kerja harus diniati dgn ikhlas dan ikhsan (mengerjakan secara optimal).19 Inilah, kata Nurcholish, etos kerja yg perlu tumbuh bagi kaum Muslim, agar Indonesia menjadi bangsa yg maju dan memiliki kualitas SDM yg tinggi di masa depan. Baginya, apabila umat Islam Indonesia maju, berarti Indonesia jg akan maju, begitu pula sebaliknya. Maka, ia sangat yakin bahwa maju mundurnya Indonesia sangat tergantung pd umat Islam itu sendiri.
Konsep Eskatologis
Dalam bukunya Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat, Nurcholish kembali mengungkapkan konsep eskatologisnya dgn pendekatan rasional, historis dan sosiologis. Hal ni berbeda sekali dgn pendekatan yg lazim digunakan masyarakat Islam Indonesia yg lebih menitik beratkan pd pendekatan doktrinal, terutama dlm hal konsep dunia dan akhirat. Ketika menjelaskan konsep “urusan dunia” (umûr al-dunyâ), Nurcholish membagi dua kategori: peranan taqdir dan peranan sunnatullah.
Ia menjelaskan, bahwa sesungguhnya yg diajarkan oleh Islam bukanlah kehidupan duniawi dan ukhrawi yg dikotomis, dlm arti terpisah dan bertentangan. Islam hanya mengajarkan bahwa antara keduanya itu berbeda tapi merupakan kesambungan / kontinuitas, karena keduanya dipertautkan dan dipersatukan dlm satu hukum ketentuan Tuhan yg mengatur lingkungan hidup duniawi ni serta pola kehidupan manusia itu sendiri secara tetap dan tak berubah-ubah, yaitu hukum ketentuan Tuhan / taqdîr.
Menurutnya, istilah taqdîr dlm al-Qur’an ialah hukum ketentuan yg telah ditetapkan Tuhan untk mengatur pola perjalanan dan “tingkah laku” alam ciptaan-Nya, khususnya alam material. Misalnya taqdîr pola perjalanan / peredaran matahari21, taqdîr untk pola perjalanan rembulan dan matahari, yg memungkinkan manusia menjadikan keduanya itu sebagai dasar perhitungan waktu yg pasti. Dari pengertian taqdîr ini, menurutnya tak lain padanan / ekuivalensi istilah sehari-hari “hukum alam”.
Maka sudah tentu untk mendapatkan sukses dlm kehidupan duniawi ni manusia dituntut untk memahami hukum ketentuan Allah bagi lingkungan sekelilingnya, yaitu alam. Implikasi pemahaman semacam itu -khususnya pemahaman lingkungan material hidup di dunia ini- menghasilkan ilmu pengetahuan yg kemudian dpt diterapkan secara konkrit dlm bentuk teknologi, baik yg kuno maupun modern.24
Akan tetapi, menurut Nurcholish, hidup di dunia tak cukup hanya bermodal ilmu pengetahuan semata, sebab ilmu pengetahuan bukanlah jaminan untk kebahagiaan sejati dan langgeng. Manusia -dengan merujuk peristiwa pengusiran Adam dari surga- memerlukan sesuatu yg lebih daripada ilmu pengetahuan, yaitu ajaran-ajaran moral (Kalimât) dari Tuhan yg bila diikuti akan menghindarkan manusia dari kemungkinan terjatuh pd kesesatan hidup. Dalam bahasa kontemporer, secara empirik terbukti bahwa keselamatan dan kebahagiaan hidup tak cukup hanya dgn mengandalkan ilmu pengetahuan saja. Itulah hidayah / petunjuk hidup dari Allah yg akan membebaskan manusia dari rasa takut / khawatir.
Dalam bukunya yg lain, Nurcholish menjelaskan, bahwa taqdir tidaklah dlm arti yg sebanding dgn fatalisme, yaitu paham nerimo dan tak lagi berusaha karena segala sesuatu dipercaya sebagai nasib. Taqdir ialah suatu ajaran agar kita mengembalikan segala sesuatu kepada Allah, supaya kita lebih tenang kembali.
Tentu saja semua ni berlaku kalau sesuatu itu telah terjadi. Jadi kalau segala sesuatu telah terjadi, maka ni adlh taqdir Allah, tapi kalau berlum terjadi, maka ibarat buku yg masih satu persoalan terbuka, maka sikap kita kepada hal yg belum terjadi ialah ikhtiar.
Selanjutnya, berkenaan dgn sunnatullah, Nurcholish menjelaskan, bahwa sunnatullah meliputi ajaran-ajaran moral / agama yg disampaikan Allah kepada para Nabi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW. Karena itu manusia harus memahami dan bertindak sesuai dgn ketentuan-ketentuan itu, demi keselamatan dan kebahagiaannya yg lebih utuh.
Tetapi, sesungguhnya, yg diterangkan secara eksplisit dlm agama hanyalah yg bersifat garis besar dan amat prinsipil saja. Atau, jika bersifat garis rinci (garis kecil), maka yg diterangkan hanyalah hal-hal yg langsung bersangkutan dgn dengan natur manusia dan fitrahnya, yg manusia cenderung untk melupakan / meremehkannya (misal: hukum tentang perzinaan, pencurian, pembagian harta pusaka, perkawinan, dst.). Sedangkan sunnatullah dlm wujudnya yg menyeluruh, yg menguasai semua aspek hidup sosial manusia sepanjang sejarah, tidaklah diterangkan oleh Allah, sebab otak manusia tak akan muat untk sekaligus menampung pemahamannya.
Oleh karena sunnatullah itu telah terwujud nyata dlm perjalanan sejarah manusia, maka terdapat kemungkinan bagi manusia untk melengkapi pengetahuannya tentang hukum ketentuan Tuhan yg didapatnya secara deduktif dari ajaran agama itu dgn memperhatikan dan memahami serta membuat kesimpulan secara induktif gejala sejarah umat manusia. Ini berarti memacu manusia untk menggunakan segenap potensi akal budinya dlm memahami hukum-hukum Tuhan yg ada di jagad raya (kawniyah).
Dalam hal kajian tentang Hari Kiamat, kembali Nurcholish memberikan intepretasi yg cukup arif, bukan kepada peristiwa kiamat itu sendiri / deskripsi kehidupan di akhirat, melainkan lebih dititikberatkan kepada hikmah terhadap kepercayaan hari kiamat. Hari Kiamat (qiyâmat, yg berarti kebangkitan), merupakan peristiwa hancurnya alam semesta, kemudian manusia seluruhnya akan dibangkitkan dari alam kubur.
Keimanan kepada adanya Kiamat dan Hari Kemudian (al-yawm al-âkhir), menyangkut masalah kebenaran intrinsik, yaitu kebenaran bahwa Kiamat memang pasti akan tiba dan Hari Akhirat memang akan dialami umat manusia. Tapi di samping itu, sebagai hikmahnya yg utama, “ajaran tentang Kiamat dan Hari Kemudian itu jg mengandung pendidikan dan peringatan bahwa segala sesuatu yg kita kerjakan dlm hidup ini, baik ataupun buruk, akan kita pertanggung jawabkan kepada Pencipta kita, dan akan kita rasakan akibatnya, baik berupa kebahagiaan maupun kesengsaraan”.
Selanjutnya, tentang pertanggungjawaban di Hari Kiamat itu salah satu hal yg sangat perlu diinsafi tiap orang ialah dimensinya yg mutlak dan individual. Kehidupan di akhirat tak lagi mengikuti hukum-hukum alam dan sejarah kehidupan duniawi. Semua itu dimaksudkan agar manusia tak menjalani hidup ni secara sembrono sehingga tak lagi peduli kepada ukuran dan pertimbangan moral. Setiap orang diharapkan, bahkan diharuskan, mengembangkan dirinya sebagai perorangan yg penuh tanggung jawab, yg berani dgn jujur mempertanggungjawabkan segala perbuatannya, yg dlm pertanggungjawaban itu tak mengandalkan dan menyandarkan diri kepada orang lain. Dengan begitu ia akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia dgn karakter yg kuat, yg menjadi unsur bangunan masyarakat yg kuat
Berdasarkan gambaran di atas, dpt dipahami bahwa Nurcholish hendak membangun masyarakat dgn sebuah bangunan moralitas / akhlak mulia (al-akhlâq al-karîmat). Dikatakan, “keimanan kepada adanya Hari Kiamat dan Hari Akhirat dgn pengalaman hidup abadi dlm kebahagiaan / kesengsaraan merupakan salah satu pondasi kehidupan yg benar, yaitu kehidupan penuh akhlaq, budi pekerti luhur dan moral. Jika Nabi s.a.w. dlaam sebuah hadits menegaskan bahwa beliau ‘diutus hanyalah untk menyempurnakan berbagai keluhuran budi’, maka salah satu tafsiran sabda beliau itu ialah bahwa tujuan utama agama bagi kehidupan manusia di bumi ni ialah terciptanya kehidupan bermoral”.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dpt diringkaskan gagasan utama Nurcholish Madjid di bidang kalam ni adlh pemisahan yg tegas antara dunia dan akhirat, yakni :
Pertama, urusan bumi diserahkan kepada umat manusia. Manusia diberi wewenang penuh untk memahami dunia ini.
Kedua, akal pikiran adlh alat manusia untk memahami dan mencari pemecahan masalah duniawi.
Ketiga, oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi. Keempat, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi.
Kelima, membedakan antara Hari Dunia dan Hari Agama. Pada Hari Dunia yg berlaku adlh hukum kemasyarakatan manusia dan pd Hari Agama yg berlaku adlh hukum ukhrawi.
Keenam, Bismillah artinya Atas Nama Tuhan dan bukan Dengan Nama Allah.
Ketujuh, Al-Rahmân arti kasih Tuhan di dunia dan al-Rahîm kasih Tuhan di akhirat.
Kedelapan, dimensi kehidupan duniawi adlh ‘ilmi dan kehidupan spiritual adlh ukhrawi.
Kesembilan, Islam adlh dîn, dîn adlh agama dan agama tak bersifat ideologis, politis, ekonomis, sosiologis, dsb. Kesepuluh, apa yg disebut negara Islam tak ada31.
dikutip dari artikel M.Afif Anshori di sumber
source : http://tribunnews.com, http://reddit.com, http://integralist.blogspot.com
0 Response to "pemikiran Kalam Cak Nur"
Posting Komentar