This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Membaca Perintah Tuhan - Memoar

kopas99.blogspot.com - Faktual, ada satu ayat yg paling sering diucap pendakwah di bulan Ramadan. Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kalian, agar kamu bertakwa, demikian terjemahan Surat Al-Baqarah ayat 183. Ayat tersebut jelas sekali merupakan perintah Tuhan, ditegaskan dgn kata kutiba yg berarti diwajibkan. Tuhan, melalui ayat tersebut, mewajibkan puasa dikarenakan orang-orang sebelum kita pun diwajibkan demikian. Tujuannya agar kita menjadi insan yg bertakwa.

Sebagai perintah, tentu ayat itu kurang memberi penjelasan yg memuaskan. Setiap perintah seringkali tak sempat menyertakan agumentasi rasional bersamanya. Terutama ayat suci, bila penjelasan-penjelasan ihwal manfaat berpuasa disertakan, tentu tak akan muat dlm satu ayat, bahkan satu lembar. Maka, sebetulnya Tuhan sedang merawat tanya: kenapa kita harus berpuasa seperti orang-orang sebelum kita? Lantas, apa pula benang merah antara puasa dan takwa?
Ada banyak tafsir, banyak sekali. Namun, biarlah kali ni puasa dikaji melalui perspektif filsafat eksistensialisme, terkhusus pemikiran Soren Kierkegaard. Filsuf asal Denmark itu ditunjuk sebagai pelopor eksistensialisme, yg di kemudian hari menjadi tren dlm filsafat manusia. Beda Kierkegaard dgn filsuf eksistensialis lain adlh pemikirannya yg masih bernuansa religius, padahal yg lain sampai dituduh atheis lantaran tak mau menyoal Tuhan.
Tiga Tahap Eksistensi Kierkegaard membagi kemungkinan cara bereksistensi manusia dlm tiga tahap. Pertama, tahap estetis. Pada tahap ini, manusia cenderung hidup dgn mengabaikan nilai-nilai moral dan agama. Eksistensinya ditentukan oleh hasrat estetis, / dlm bahasa Freud: asas kesenangan. Para estetikus mengisi hari-harinya dgn mengejar kesenangan dan mengelak dari rasa sakit. Dampaknya, estetikus tak sanggup menguasai diri sendiri. Eksistensinya ditentukan oleh hal-hal luar yg mengikis subjektivitas.
Kedua, tahap etis, yg lebih Kierkegaard tujukan sebagai transisi menuju tahap terakhir. Merujuk tafsiran Fuad Hassan, manusia etis dihadapkan pd penghayatan kecemasan karena tiadanya kepastian. Tahap etis merupakan bentuk eksistensi yg lebih tinggi ketimbang tahap estetis. Hasrat estetis ditanggalkan, untk bisa menghayati realitas diri yg tanpa bentuk dan tanpa arti. Lantas, manusia kemudian bertanya-tanya dan mencari pegangan bagi kehidupannya. Tahap etis akan sampai puncaknya ketika manusia merasakan lompatan iman, saat itulah manusia masuk tahap ketiga.
Tahap religius, inilah puncak eksistensi manusia. Ciri khas tahap ketiga ni adlh pengarahan manusia sebagai pribadi yg tunggal, yg tampil dgn kesejatiannya, kepada Tuhan. Alih-alih menyerah pd hukum universal, kedekatan dgn Tuhan adlh penghayatan eksistensial. Tuhan sebagai kebenaran yg dihayati ialah subjektif. Adanya Tuhan didasari oleh kepercayaan, dan kepercayaan terhadap Tuhan tak bisa dilakukan melalui objektifikasi.
Puasa sebagai Transendensi Bagi Kierkegaard, kepercayaan terhadap Tuhan ialah proses transendensi. Hal ni dimungkinkan lantaran Tuhan memberi kesempatan pd manusia untk mengatasi dirinya. Begitu pula agama, harus dihayati sebagai pengalaman subjektif. Kierkegaard tulis dlm Concluding Unscientific Postscript (1946: 142), menjadi subjektif adlh tugas yg dihadapkan pd tiap manusia. Maka, sebetulnya segala perintah Tuhan yg dirumuskan dlm syariat agama tak harus dimaknai secara rigid. Justru, perintah Tuhan menjadi kesempatan bagi manusia dlm menentukan caranya bereksistensi.
Dalam Islam, puasa merupakan satu dari beberapa kesempatan yg diberikan Tuhan pd manusia. Puasa menuntut penguasaan diri sebagai subjek, untk tak takluk pd pengaruh luar maupun hasratnya sendiri. Inti dari berpuasa adlh menahan diri. Upaya menahan diri adlh jalan terbaik bagi manusia untk merealisasikan otonomi subjektivitasnya. Puasa tak usah dianggap sebagai perintah semata, melainkan momen bagi manusia untk menjelma subjek yg utuh.
Maka saat berpuasa janganlah manja, tak perlu melarang warung makan tutup dgn dalih penghargaan bagi yg berpuasa. Warung makan buka di hari puasa pun tak masalah, justru jadi tantangan yg harus dikalahkan dlm upaya menahan diri. Mengutip Friedrich Nietzsche, that which doesn’t kill us, make us stronger. Berpuasa menjadikan kita kuat!

other source : http://adiksikopi.blogspot.com, http://pinterest.com, http://google.com

0 Response to "Membaca Perintah Tuhan - Memoar"

Posting Komentar

Contact

Nama

Email *

Pesan *